budayaaceh.com, Banda Aceh - Rateeb Meuseukat merupakan sebuah tarian pertunjukan yang mengandung nilai keislaman. Dalam setiap gerakan dan syairnya terkandung pesan serta makna mendalam. Pada tahun 2025, tarian tersebut resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia.
Secara etimologis, nama tarian ini berasal dari bahasa Arab, rateb (ratib) yang berarti ibadah atau zikir, dan meuseukat (sakat) yang bermakna diam. Sesuai namanya, tarian ini adalah bentuk ‘zikir yang diam’, sebuah meditasi gerak yang lahir dari tradisi pengajian malam hari di Serambi Mekkah.
Menurut sejarah, awal mula terciptanya tarian khas tersebut di kawasan Nagan Raya, oleh Wan Rakibah, putri dari ulama besar Habib Seunagan. Pada mulanya, gerak ritmis ini digunakan sebagai medium dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam, khususnya di kalangan perempuan, agar lebih mudah dihayati dan diingat.
Bukan Sekadar Kembaran Tari Saman
Bagi mata yang awam, Rateeb Meuseukat sering kali disalahpahami sebagai Tari Saman. Memang keduanya mengandalkan kecepatan gerak tangan dalam posisi duduk, namun Rateeb Meuseukat memiliki jati diri yang berbeda:
Simbol Keteguhan Perempuan Aceh
Setiap gerakan dalam Rateeb Meuseukat bukan sekadar pamer ketangkasan. Ada filosofi persatuan yang mendalam di setiap bahu yang saling bersentuhan. Kecepatan gerak yang kian meningkat melambangkan keteguhan hati dan konsentrasi tinggi dalam mengingat Tuhan.
Pengakuan negara terhadap tarian ini melalui Kementerian Kebudayaan RI menjadi tonggak penting bagi masyarakat Nagan Raya. Penetapan ini bukan sekadar label administratif, melainkan pengingat bahwa di balik gerak dinamis perempuan-perempuan Aceh, tersimpan sejarah panjang dakwah dan syukur yang tak boleh lekang oleh zaman.
Rateeb Meuseukat tetap menjadi bukti bahwa seni di Aceh adalah nafas agama, di mana setiap tepukan adalah zikir, dan setiap gerak adalah doa. (Admin)