Tingkatan Data | : | Provinsi |
Tahun pendataan | : | 01 January 2020 |
Tahun verifikasi dan validasi | : | 01 January 2020 |
Tahun penetapan | : | 01 January 2020 |
Sebaran kabupaten/kota | : | Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Pidie. |
Entitas kebudayaan | : | WBTB |
Domain WBTb UNESCO | : | Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan |
Kategori WBTb UNESCO | : | Upacara/Ritus |
Nama objek OPK | : | Peusijuk |
Wilayah atau level administrasi | : | Provinsi |
Kondisi sekarang | : | Masih Bertahan |
Kabupaten/Kota | : | Kota Banda Aceh |
Updaya pelestarian | : | pengembangan, pemanfaatan, perlindungan |
Referensi | : | - |
Tanggal penerimaan formulir | : | - |
Tempat penerimaan formulir | : | - |
Nama petugas penerimaan formulir | : | - |
Nama lembaga | : | - |
Nama lembaga | : | - |
WBTb
Nama Lainnya : Peusijuk
Masyarakat Aceh dikenal dengan masyarakat yang taat beragama, fanatik dengan agamanya dan memiliki reputasi sebagai masyarakat penyebar risalah yang memeluk Islam lebih awal di Asia Tenggara (Ali Hasjmy 1978, Hal: 60, PA. Husen Djajadininggrat 1981 hal: 1-27, dalam Disini ia Bersemi). Namun demikian, jejak Islam yang lama dan panjang di Aceh ini mengalami pergolakan antara keaslian ajaran Islam dan unsur-unsur lokal lainnya. Semua itu menandakan bahwa Islam datang melalui proses damai, sehingga proses Islamisasipun harus melalui fase demi fase sehingga ajaran Islam itu menjadi unsur yang diterima masyarakat setempat1. Peusijuek pada mulanya adalah salah satu unsur lokal yang menjadi objek akulturasi dengan ajaran Islam secara damai dari waktu ke waktu, pada paroh akhir abad 20 di Aceh, Peusijuek ini menjadi objek perdebatan antara Tradisionalis dan Reformis. Meskipun satu abad kemudian, abad 19 M, Kehadiran reformis di Aceh menjadikan babak baru dalam perkembangan Islam, yaitu sebagai periode konflik dan periode rekonsiliasi (Merle C. Ricklefs, 2008). Umumnya masyarakat tradisionalis menyakini bahwa praktek Peusijeuk itu merupakan ketaatan beragama, tetapi karena ditentang kalangan reformis, maka kedudukan Peusijuek berubah menjadi praktek adat yang terpuji dalam agama. Sebaliknya kalangan refomis menganggapnya adalah praktek adat tercela dan dianggap bid`ah yang dapat mengancam aqidah dan semangat mengamalkan agama2. Walaupun demikian, praktek peusijeuk tetap berkelanjutan dan menjadi tadisi yang tidak terpisahkan dari budaya Aceh. Akibatnya para reformis moderate mencoba mencari jalan tengah dengan mentolerir unsur-unsur yang tidak bertentangan dengan Islam dan memasukkan unsur-unsur Islam dalam Peusijuek. Namun demikian, ternyata mereka terjebak dalam bagaimana memposisikan peusijeuk sebagai bagian dari ibadah dan bagaimana kedudukan ijtihad dalam ibadah itu sendiri. Untuk menjelaskan semua itu, artikel ini akan mencoba menjawab bagaimana perdebatan yang terjadi antara reformis dan tradisionalis menurut perspektif masing-masing tentang Peusijuek,disamping juga bagaimana ritual ini dipahami masyarakat dan apa makna-makna simbolsimbol yang dipakai didalamnya? Tulisan ini pada akhirnya akan membuktikan bahwa masyarakat Aceh masih terikat dengan kepercayaan-kepercayaan dinamisme dan disamping juga akan menyatakan bahwa proses Islamisasi budaya masyarakat Aceh masih sedang dan akan terus berlangsung.