| Tingkatan Data | : | Provinsi |
| Tahun pendataan | : | 10 October 2024 |
| Tahun verifikasi dan validasi | : | 10 October 2024 |
| Tahun penetapan | : | 10 October 2024 |
| Sebaran kabupaten/kota | : | Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Gayo Lues. |
| Entitas kebudayaan | : | WBTB |
| Domain WBTb UNESCO | : | Seni Pertunjukan |
| Kategori WBTb UNESCO | : | Tradisi Lisan |
| Nama objek OPK | : | - |
| Wilayah atau level administrasi | : | Provinsi |
| Kondisi sekarang | : | Masih Bertahan |
| Kabupaten/Kota | : | Kabupaten Aceh Tengah |
| Updaya pelestarian | : | Dokumentasi, Pendidikan, Pengajaran, Penggunaan Teknologi |
| Referensi | : | - |
| Tanggal penerimaan formulir | : | - |
| Tempat penerimaan formulir | : | - |
| Nama petugas penerimaan formulir | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
WBTb
Nama Lainnya : Pepongoten
Suku Gayo juga memiliki kesenian dan ekpresi lisan yang berbeda-beda dengan suku Aceh yang pada umumnya menghuni daerah pesisir Aceh. Sebagai suatu suku yang jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan jumlah kesenian yang dimilikinya, tercermin bahwa suku ini mempunyai perhatian yang tinggi terhadap kesenian. Seperti halnya dengan suku-suku yang lain di nusantara ini, maka suku Gayo termasuk juga suku yang berjiwa seni. Pada bidang pertunjukan seni masyarakat Gayo memiliki sebuah kesenian yang hanya menggunakan vocal tanpa instrument di luar tubuh manusia, yaitu: Pepongoten atau Sebuku. Pepongoten tergolong dalam seni pertunjukan spontan. Seni ini sering ditampilkan saat pesta perkawinan di masyarakat Gayo. Kesenian ini masih terus berkembang dalam generasi usia lanjut. Namun, kaum muda Gayo masih kurang meminati kesenian ini. Oleh karena itu, perlu upaya pelestarian dan pengembangan dari berbagai pihak agar kesenian ini dapat terus diwariskan dari generasi ke generasi. Pengertian Pepongoten Pepongoten berasal dari kata pongot yang memiliki arti tangisan atau ratapan. Pepongoten dalam masyarakat Gayo dikenal sebagai seni meratap yang diungkapkan secara indah, puitis, dan disertai tangisan. Pepongoten termasuk kedalam puisi yang berjenis elegi, yaitu: syair atau nyanyian yang mengandung unsur ratapan, duka cita, rasa haru, dan rasa kehilangan. Pepongoten merupakan tradisi dalam pesta pernikahan masyarakat suku Gayo. Pepongoten berisikan petuah-petuah yang disampaikan kepada putra putri yang ingin menikah (berumah tangga), yang bertujuan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik di dalam rumah tangga, oleh karena itu di hadirkanlah sebuah sebuah pepongoten di prosesi perkawinan agar memberikan nasihat kepada pengantin laki-laki maupun wanita. Ketika pernikahan, pepongoten ini dijadikan sarana oleh anak yang ingin menikah untuk meminta maaf kepada orang tuanya. Pepongoten dilakukan untuk mengungkapkan kekesalan, isi hati, kesan dan pesan, kenangan, kekhawatiran, dan harapan baik dari calon pengantin maupun kerabat dan orang tua yang biasa diwakilkan oleh orang yang ditunjuk pihak keluarga. Penggunaan pepongoten dalam adat pernikahan suku Gayo mempunyai makna simbolik sebagai bahasa komunikasi pada saat pepongoten dilakukan. Makna-makna simbolik tersebut terkandung dalam kata-kata kiasan yang di ungkapkan pada saat acara pepongoten berlangsung. Perkembangan Pepongoten Pepongoten dan sebuku berdasarkan hasil wawancara bersama Jusin Saleh, terdiri dari dua komponen di dalamnya. Pertama adanya pernyataan-pernyataan menyesali diri yang dilontarkan oleh si anak dan yang kedua pernyataan nasehat yang dilontarkan oleh pihak keluarga. Hal tersebut ibarat satu keutuhan karena keduanya mencakup beberapa bentuk interaksi di dalamnya. Misalnya ada seorang anak meminta izin untuk menikah dengan lelaki yang berbeda daerah dan suku dengannya, maka saat ia melakukan sebuku, dia meratap seolah menyudutkan dirinya dan seolah melakukan kesalahan. (Tria Ocktarizka, 2018, dalam jurnal “Makna Mongot dalam PepongotenPada Prosesi Perkawinan Suku Gayo Kabupaten Aceh Tengah”). Pada tahun 1970-an, pepongoten atau sebuku masih sangat sering dilakukan, menjadi sebuah keharusan yang dilakukan oleh pengantin perempuan dengan Ibu serta keluarganya. Bahkan apabila si pengantin tidak mampu melakukannya, dalam artian ia tidak pandai melantunkannya atau tidak merdu suaranya, ia bisa saja mengundang orang lain untuk menggantikan posisinya melakukan pepongoten atau ber-sebuku dengan catatan yang telah dituliskan oleh pengantin perempuan. Pepongoten atau sebuku, mengambil peranan penting untuk memulai bahtera rumah tangga. Pepongoten umumnya dilakukan oleh kaum perempuan pada momen-momen pernikahan di masyarakat Gayo. Namun, sekarang gadis-gadis Gayo sudah sangat jarang mampu membawakan pepongoten, sehingga menunjukkan tiadanya regenerasi tradisi pepongoten dari generasi sebelumnya ke generasi kiwari.kalangan yang mampu membawakan pepongoten. Aspek Sejarah Awalnya pepongoten dipraktekan oleh masyarakat Gayo saat menangisi dan meratapi kematian sanak saudara atau kerabat. Pada momen kematian pepongoten dibawakan oleh kerabat si mayat pada saat mereka melayat di rumah duka sebelum mayat dimakamkan. Konon tradisi ini sudah ada sejak abad XI, artinya sebelum Islam masuk ke Tanah Gayo. Namun seiring masuknya Islam dan dikenal luas tradisi pepongoten dalam kematian perlahan mulai memudar dan menghilang. Dalam islam sikap meratapi mayat merupakan perbuatan yang dilarang. Karena itu, para ulama pun mengajak masyarakat Gayo meninggalkan tradisi pepongoten dalam peristiwa kematian. Dahulu dalam tradisi pernikahan masyarakat Gayo dikenal istilah “juelen” yang berarti “jual”. Secara prinsip, juelen merupakan bentuk pernikahan yang mengharuskan mempelai wanita masuk ke dalm keluarga mempelai pria. Kalau sudah dinikahkan secara juelen, si mempelai wanita sudah tidak diharapkan lagi untuk mengurus orang tuanya di masa depan, karena ia sudah seperti dijual kepada keluarga suaminya. Bagi orang tuanya si mempelai perempuan sudah seperti anak yang akan hilang untuk selamanya. Karena itu, momen pernikahan bagi orang gayo merupakan peristiwa yang sangat emosional, terutama bagi pihak perempuan. Aspek Nilai Makna peribahasa pada pepongoten dalam bahasa Gayo yang menggunakan kata-kata kiasan yang seringkali maknanya menjadi tersamarkan akan tetapi cukup bias dimengerti. Pepogoten digunakan untuk menyampaikan suatu pesan kepada seseorang maupun sekelompok orang. Pepongoten pada pesta pernikahan lebih cenderung kepada makna menasehati dan pengharapan untuk kedua mempelai. Makna nasehat itu sendiri adalah kalimat yang mengungkapkan suatu kalimat yang sempurna, yaitu keinginan untuk memberikan kebaikan kepada orang yang diberi nasehat. Nilai yang terkandung dalam tradisi Pepongoten sangatlah banyak. Diantaranya : (1) Nilai Religi, tergambar dari salah satu syair pepongoten i tatang ko pumumu muniro ku Tuhen si sarayang artinya berdoa memohon dan meminta hanya kepada Tuhan. Kalimat kedua Enti gelep semah sujudmu yang berarti jangan lupakan ibadah terutama sholat. (2) Nilai Kesopansantunan, tergambar dalam kalimat Mayakku ine ken jema tue enti ubah atemu yang berarti setelah menempuh kehidupan yang baru jangan pernah merubah sikap dan tetap sayang kepada kedua orang tua. (3) Nilai Kesetiakawanan Sosial, tergambar dalam kalimat ikeara sudere si mugah buge i uwaki yang memiliki arti saling membantu dengan tetangga dan saudara. Kemudian kalimat si lagu koceng idamen ko anakku yang memiliki arti jika ada saudara yang bersilidih agar didamaikan. (4) Nilai Kerukunan, terlihat dalam kalimat Gelah muninget ken dengan urum rakan yang berarti harus selalu mengingat saudara dan teman. Kemudian kalimat Gelah saling bersepapah beramiken yang berarti saling merangkul. Pada kalimat Kati enti ken musalah silah yang berarti agar tidak ada yang merajuk. Pada kalimat Wani pergaulen enti sesak berlangkah yang berarti jangan sampai salah memilih teman dalam pergaulan. (5) Nilai Komitmen, tergambar dari kalimat Besilo roanmu ara tikik ama yang berarti dititipkan sebuah amanah kepada kedau pengantin. Kalimat Gelah sara langkah sana si tuju mayakku yang berarti dalam menjalani hubungan harus satu langkah agar mencapai tujuan yang sama. Kalimat Ke kenakmu sakinah mawaddah, enti kase i palsun ko awah mu anakku yang berarti agar mencapai rumah tangga yang sakinah mawaddah, maka jangan sampai ada kebohongan didalamnya.