| Tingkatan Data | : | Provinsi |
| Tahun pendataan | : | 01 January 2022 |
| Tahun verifikasi dan validasi | : | 01 January 2022 |
| Tahun penetapan | : | 01 January 2022 |
| Sebaran kabupaten/kota | : | Kabupaten Aceh Selatan. |
| Entitas kebudayaan | : | WBTB |
| Domain WBTb UNESCO | : | Tradisi dan Ekspresi Lisan |
| Kategori WBTb UNESCO | : | Kuliner Tradisional |
| Nama objek OPK | : | Malamang |
| Wilayah atau level administrasi | : | Provinsi |
| Kondisi sekarang | : | Masih Bertahan |
| Kabupaten/Kota | : | Kabupaten Aceh Selatan |
| Updaya pelestarian | : | Dokumentasi, Pendidikan, Pengajaran, Pemanfaatan |
| Referensi | : | - |
| Tanggal penerimaan formulir | : | - |
| Tempat penerimaan formulir | : | - |
| Nama petugas penerimaan formulir | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
WBTb
Nama Lainnya : Malamang
Salah satu tradisi yang ada pada etnis Aneuk Jamee di Provinsi Aceh adalah malamang. Dalam masyarakat Aneuk Jamee, malamang mempunyai nilai dan dan fungsi. Jenis lamang pun berbeda-beda, setiap jenis lamang tersebut mempunyai nilai dan fungsinya yang berbeda pula. Selain itu, bahan yang digunakan dan cara pembuatannya juga berbeda, sesuai dengan jenis dan fungsinya. Lamang bukan hanya berfungsi sebagai makanan adat, tetapi juga sebagai bahan pelengkap upacara. Dengan demikian, malamang menempati kedudukan dan arti penting dalam sejarah dan budaya etnis Aneuk Jamee dan merupakan satu di antara identitasnya. Awal Mula Tradisi Malamang Malamang sangat erat kaitannya dengan tradisi masyarakat Aneuk Jamee dalam menyambut bulan Ramadan, hari raya idul fitri, idul adha, dan peristiwa penting lainnya maka tradisi tersebut sudah ada sejak masyarakat Aneuk Jamee bermigrasi ke Aceh, terutama ke pantai barat-selatan Aceh. Ada beberapa tahap penduduk dari Sumatera Barat bermigrasi ke Aceh. Pertama, ketika konflik Painan pada tahun 1663. Kedua, ketika terjadi pemurnian ajaran Islam yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin Ulakan dengan konsep adat bersendi syariat, syariat bersendi kitabullah, menyebabkan sebagian besar orang Minangkabau di pedalaman, yaitu Rao, Payakumbuh, Kampar, dan Paseman bermigrasi ke Aceh. Migrasi secara besar-besaran dilakukan setelah terjadi perang Paderi di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda yang dibantu oleh golongan adat pada tahun 1821--1837. Selain pindah ke Aceh, banyak pula pengikut Paderi yang pindah ke Negeri Sembilan. Ketiga, peristiwa migrasi orang Minang dalam jumlah besar ke Aceh dengan alasan ekonomi terjadi pada abad ke-17 (pada masa pemerintahan Sultan Jamalul Alam 1703--1726). Kebanyakan mereka berasal dari Rao, Paseman, dan Kampar Hulu. Mereka mendengar berita dari orang-orang Minangkabau yang sudah terlebih dahulu bermukim di Aceh bahwa di Aceh bagian barat banyak mengandung emas. Mereka mendatangi tempat-tempat pertambangan emas tersebut. Masyarakat Aneuk Jamee tetap mempraktikkan budayanya di tempat baru, karena secara esensial kebudayaan merupakan suatu instrumen yang digunakan oleh manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Malamang termasuk kegiatan yang dilakukan berulang kali oleh masyarakat Aneuk Jamee secara berkelanjutan. Bermula dari tradisi etnis Aneuk Jamee, malamang dilakukan juga oleh etnis lain di Aceh.