| Tingkatan Data | : | Provinsi |
| Tahun pendataan | : | 01 January 2022 |
| Tahun verifikasi dan validasi | : | 01 January 2022 |
| Tahun penetapan | : | 01 January 2022 |
| Sebaran kabupaten/kota | : | Kabupaten Aceh Barat. |
| Entitas kebudayaan | : | WBTB |
| Domain WBTb UNESCO | : | Kemahiran dan Kerajinan Tradisional |
| Kategori WBTb UNESCO | : | Keterampilan Tradisional |
| Nama objek OPK | : | Kasab |
| Wilayah atau level administrasi | : | Provinsi |
| Kondisi sekarang | : | Masih Bertahan |
| Kabupaten/Kota | : | Kabupaten Aceh Barat |
| Updaya pelestarian | : | pengembangan, pemanfaatan, perlindungan |
| Referensi | : | - |
| Tanggal penerimaan formulir | : | - |
| Tempat penerimaan formulir | : | - |
| Nama petugas penerimaan formulir | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
WBTb
Nama Lainnya : Kasab
Kasab merupakan salah satu kerajinan tangan yang sangat penting bagi masyarakat Aceh. Hampir semua penyelenggaraan upacara adat, khususnya terkait upacara daur hidup menggunakan perangkat sulam kasab. Kasab adalah salah satu produk budaya yang merupakan hasil sulaman tangan berbentuk kain beludru yang di atasnya disulam benang emas dengan pola tertentu mengikuti ragam hias yang menjadi ciri khas daerah tertentu. Dari berbagai data sejarah menunjukkan bahwa kerajinan kasab sudah berkembang di Aceh sejak abad ke-15. Lancaster yang dikutip oleh Barbara Leigh (1977) menulis bahwa kain kasab berupa hiasan-hiasan gantung yang padat dengan sulaman benang emas merupakan bagian dari kebudayaan kerajaan di abad ke-15 dan 16, Sultan Alauddin Shah mengirim tiga helai kain bertatahkan emas untuk dipersembahkan kepada Paduka Yang Mulia Sri Ratu Elizabeth I pada tahun 1602. Pada tahun yang sama, Lancaster juga mencatat peristiwa penyerahan kain untuk dirinya. Hadiah dari Sultan Aceh, dengan mengatakan bahwa “Raja juga menyerahkan kepada Panglima jubah putih dari bahan kaliko halus yang sarat dengan sulaman emas dan sebuah penghias pinggang indah berhiaskan corak-corak gaya Turki”. Keberadaan benang emas di Aceh pernah pula dilaporkan oleh Davis, seorang Inggris yang datang ke daerah ini. Pada tahun 1559 Davis melihat bahwa di dalam istana terdapat dinding-dinding yang seluruhnya sarat dengan giasan kain gantung bersulam benang emas di atas dasar kain beludru atau damask. Ketika hendak menghadap sultan, ia harus tampil dalam pakaian yang pantas untuk kesempatan tersebut, “Syahbandar … membungkus dari batas pinggangku sampai setengah pangkal kakiku dengan bahan kain linen panjang yang dihias dengan sulaman benang emas”. Pada bagian lain, Barbara Leigh juga menduga bahwa kebiasaan memakai benang emas untuk menghias busana dan hiasan-hiasan dinding besar merupakan pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan bangsawan Moghul dari Gujarat di India. Pada abad ke-16 dan 17, sekutu-sekutu dagang Aceh mendirikan pusat-pusat perdagangan benang emas, termasuk daerah-daerah lainnya di India. Selama masa pemerintahan Ottmaniah di Turki, Bursa dikenal secara luas sebagai kerajinan emas. Dataran Cina, yang terkenal dengan kerajinan sulam-menyulam aneka warna cerah dan indah, sejak berabad-abad telah mengenal tradisi menjahit sulaman timbul dengan menggunakan benang sutera berwarna, benang emas, dan benang perak. Penggunaan benang emas di benua Eropa juga dikenal sejak ratusan tahun, ditetapkan dengan teknik jahit timbul, terutama pada pakain-pakaian untuk upacara-upacara keagamaan. Kerajinan menyulam di Aceh telah dikenal sejak lebih dari 400 tahun silam, terbukti dari pola dan jenis hiasan-hiasan gantung yang masih ada. Di Asia Tenggara, sulaman benang emas diterapkan pada pakaian atau kain hiasan dinding, pada umumnya diasosiasikan dengan bangsa-bangsa Melayu yang Islam dan dengan Pulau Sumatera pada khususnya wilayah pantai barat Sumatera memang terkenal dengan kerajinan sulaman emas. Kreemer menyebut bahwa wilayah pantai barat Aceh sebagai daerah yang menghasilkan sulaman-sulaman yang terindah dan bermutu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kasab merupakan kerajinan yang berkembang sebagai kebudayaan yang datang dari luar Aceh. Hal ini dibuktikan dengan bahan-bahan pembuatan kasab yang didatangkan dari luar karena saat itu Aceh belum mampu menghasilkan bahan baku yang mewah seperti yang didatangkan dari Gujarat, India, Turki, Cina, dan lain-lain. Belum dapat dipastikan kapan dan bagaimana tepatnya proses masuknya kasab ke Aceh, khususnya ke Aceh Selatan. Namun dapat dipastikan bahwa kerajinan ini berkembang dengan kehidupan masyarakat setempat seperti kondisi lingkungan, budaya dan kepercayaan.