| Tingkatan Data | : | Provinsi |
| Tahun pendataan | : | 10 October 2024 |
| Tahun verifikasi dan validasi | : | 10 October 2024 |
| Tahun penetapan | : | 10 October 2024 |
| Sebaran kabupaten/kota | : | Kota Banda Aceh. |
| Entitas kebudayaan | : | WBTB |
| Domain WBTb UNESCO | : | Tradisi dan Ekspresi Lisan |
| Kategori WBTb UNESCO | : | Tradisi Lisan |
| Nama objek OPK | : | - |
| Wilayah atau level administrasi | : | Provinsi |
| Kondisi sekarang | : | Sudah Berkurang |
| Kabupaten/Kota | : | Kota Banda Aceh |
| Updaya pelestarian | : | Dokumentasi, Pendidikan, Pengajaran, Penggunaan Teknologi |
| Referensi | : | - |
| Tanggal penerimaan formulir | : | - |
| Tempat penerimaan formulir | : | - |
| Nama petugas penerimaan formulir | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
WBTb
Nama Lainnya : DODA IDI
nomor sertifikat: 2025/Dit.PK/sertifikat/2024 Dodaidi adalah bentuk tradisi lisan dalam masyarakat Aceh berupa nyanyian pengantar tidur (lullaby) yang biasa dilantunkan oleh seorang ibu kepada bayinya saat dalam buaian atau ayunan. Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan dan alat penenang, tetapi juga sebagai media penanaman nilai-nilai moral, spiritual, dan kebangsaan kepada anak sejak usia dini. Dalam praktiknya, bayi dalam budaya Aceh biasanya tidur di dalam ayunan yang diletakkan sekamar dengan orang tuanya. Di saat-saat menjelang tidur, ibu akan menyanyikan syair-syair Islami, berisi pesan akhlak, sejarah, dan ajaran Nabi. Menurut para ahli medis dan psikolog, masa transisi menuju alam bawah sadar merupakan waktu yang sangat efektif untuk menanamkan pesan-pesan moral dan spiritual. Nilai Keislaman dan Kebangsaan dalam Dodaidi Syair Dodaidi secara konsisten menggunakan kata "Allah" di awal bait sebagai bentuk penguatan iman kepada anak. Dalam setiap baitnya, terkandung harapan agar anak kelak menjadi pribadi yang berakhlak, beriman, serta memiliki kesadaran bela agama dan bela bangsa. Sebagian besar syair juga mengandung pesan perjuangan dan patriotisme, seperti ajakan untuk ikut berperang membela tanah air, suatu bentuk pendidikan karakter yang kuat dalam menghadapi penjajahan. Dalam Islam, memperkenalkan agama kepada anak merupakan tanggung jawab orang tua, dan Dodaidi menjadi salah satu medianya. Makna dan Struktur Syair Kata "Dodaidi" berasal dari dua kata bahasa Aceh: Doda (atau peudoda): berarti bergoyang Idi: berarti berayun Syair Dodaidi tergolong sebagai puisi tradisional Aceh yang anonim (tanpa diketahui pengarangnya). Biasanya disusun dalam empat baris tiap bait dengan pola sajak a-a-a-a atau a-b-a-b. Syair ini diwariskan secara turun-temurun dan hingga kini masih digunakan dalam sejumlah komunitas Aceh. Dodaidi mencerminkan kearifan lokal (local wisdom) yang memuat pesan moral, ajaran Islam, dan nilai-nilai kebangsaan. Masyarakat meyakini bahwa lirik-lirik ini mempengaruhi pembentukan karakter anak sejak dini. Contoh Syair dan Penjelasan Makna Bait 1: Allahai do dodaidi, Boh gadong bie boh kayee uteu Rayek sinyak hana peue ma bri Aeb ngon keuji ureung donya khe Makna: Kata "Allah" sebagai pembuka merupakan penguatan nilai tauhid. Syair ini mengandung harapan ibu agar anaknya tumbuh besar meski orang tua tidak dapat memberi banyak harta. Anak diajarkan untuk kuat menghadapi aib dan fitnah, serta memiliki mental tangguh dalam menjalani kehidupan. Bait 2: Allahai do dodaidang, Seulayang blang ka putoh taloe Beurijang rayek muda seudang Ta jak bantu prang ta bila nanggroe Makna: Ajakan kepada anak untuk cepat dewasa dan membantu perjuangan membela tanah air. Ini adalah bentuk pendidikan patriotisme dan cinta tanah air, sejak anak berada dalam buaian. Bait 3: Wahee aneuk bek taduek le Beudoh sare ta bila bangsa Bek ta takot keu darah ile Adak pih mate poma ka rela Makna: Pesan keberanian dan kesiapsiagaan. Anak diharapkan tidak takut menumpahkan darah demi bangsa. Bahkan jika harus gugur, orang tua rela demi perjuangan membela tanah air dan agama. Dodaidi dan Perlawanan terhadap Penjajah Dalam konteks sejarah Aceh, syair Dodaidi memiliki peran penting dalam membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah, sejajar dengan karya-karya seperti Hikayat Prang Sabi oleh Tengku Chik Pante Kulu, yang menyulut semangat generasi muda Aceh dalam melawan Belanda (1873–1942) dan Jepang (1942–1945). Bait “ta jak bantu prang ta bila nanggroe” menunjukkan bahwa syair ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga instrumen pendidikan perjuangan yang ditanamkan sejak dini. Aceh pun dikenal sebagai daerah yang tidak pernah secara resmi menyerah kepada penjajah. Penting dicatat bahwa semangat perjuangan dalam syair Dodaidi tidak dibatasi gender. Sejarah mencatat banyak pahlawan perempuan dari Aceh, seperti Tjoet Nja Dhien dan Tjoet Meutia, yang turut aktif dalam peperangan.