| Tingkatan Data | : | Provinsi |
| Tahun pendataan | : | 01 January 2025 |
| Tahun verifikasi dan validasi | : | 01 March 2025 |
| Tahun penetapan | : | 10 October 2025 |
| Sebaran kabupaten/kota | : | Kabupaten Pidie. |
| Entitas kebudayaan | : | WBTB |
| Domain WBTb UNESCO | : | Tradisi dan Ekspresi Lisan |
| Kategori WBTb UNESCO | : | Tradisi Lisan |
| Nama objek OPK | : | Beude Trieng |
| Wilayah atau level administrasi | : | Provinsi |
| Kondisi sekarang | : | Masih Bertahan |
| Kabupaten/Kota | : | Kabupaten Pidie |
| Updaya pelestarian | : | perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan |
| Referensi | : | - |
| Tanggal penerimaan formulir | : | - |
| Tempat penerimaan formulir | : | - |
| Nama petugas penerimaan formulir | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
WBTb
Nama Lainnya : Beude Trieng
Beudee Trieng, merupakan Meriam yang dibuat dari bambu, yang digunakan sebagai permainan rakyat pada waktu-waktu tertentu. Pada awalnya penggunaan beudee trieng dilakukan sendiri-sendiri. Namun kemudian berkembang menjadi terorganisir pada tingkat gampong (kampung). Tradisi beudee trieng diperkirakan terinspirasi oleh Meriam bangsa portugis ketika berusaha menguasai Nusantara melalui perang, dengan senjata utamanya Meriam (Ensiklopedia 2022). Namun dalam konteks Aceh, penggunaan meriam sebagai alat pertahanan negara telah berlangsung lama. Terutama karena Aceh pernah memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Turki Usmani, yang mengirimkan sejumlah Meriam dan ahli pembuatan Meriam ke Aceh. Pada ahli pembuatan Meriam tersebut kemudian menetap di Kampung Mpe Rom, sekitar tiga kilometer arah pusat Kota Banda Aceh (Muhammad Said, 1981). Menurut maestro bude trieng, bapak Ali Topan, keberadaan permainan beudee trieng dalam masyarakat Pidie sudah berlangsung lama. Bahkan ada yang memperkirakan permainan beudee trieng sudah berlangsung sejak era kesultanan Aceh (Syeh Aceh 2021). Permainan Beudee Trieng mendapatkan perhatian yang cukup kuat dari masyarakat Kabupaten Pidie dan diorganisir dengan baik. Sehingga tradisi ini terpelihara dengan baik sampai sekarang dan menjadi tradisi yang menyenangkan, walaupun mengandung resiko terutama kebisingan suaranya yang menggelegar. Proses pembuatan beudee trieng mudah, murah dan tidak memerlukan biaya mahal. Beudee trieng terbuat dari bagian batang bambu pilihan, khususnya bagian pangkal batang dari tanaman bambu yang sudah cukup tua. Pemilihan kualitas bambu tersebut dilakukan sebagai bagian dari standar keamanan untuk mencegah batang bambu pecah ketika timbul ledakan. Bahan baku yang dipakai adalah batang bambu yang masih segar (baru dipotong), dengan panjang sekitar dua meter. Dalam keasliannya Beudee Trieng menggunakan minyak tanah sebagai bahan pemancing ledakan suara yang cukup keras namun akhir-akhir ini mulai dikombinasikan dengan menggunakan karbit sehingga suaranya akan lebih besar lagi dan bambu sebagai media utama digantikan dengan drum minyak yang disambung 2-3 buah sehingga menjadi lebih panjang. Tradisi Beudee Trieng ini biasanya digelar menjelang datangnya lebaran Idul Fitri hingga 2 hari sesudahnya. Puncak acara tersebut pada malam takiran Idul Fitri. Kegiatan ini terinspirasi dari adanya peninggalan meriam dimasa penjajahan belanda. Tradisi Beudee Trieng dalam pelaksanaan ada yang diletakkan diatas tanah langsung yang diberi sedikit plat agar lebih tinggi dan ada pula yang diletakkan diatas panggung yang dirancang dengan sengaja sehingga terlihat lebih kokoh dan bergaya. Pada saat ini, permainan beudee trieng dilakukan anak-anak dan para remaja bahkan orang dewasa ikut terlibat. Tradisi ini yang digelar semalaman hingga menjelang subuh. Di Kecamatan tempat Beudee Trieng digelar secara besar-besaran dimana masyarakat lainnya turut menyaksikan, biasanya dijejerkan ditempat yang saling berlawanan disisi kanan dan kiri sungai dan antar tempat lainnya. Kedua kubu ini biasanya berusaha membuat suara yang lebih keras dengan dentuman yang besar pula. Efek yang ditimbulkan dari tradisi ini ini adalah retaknya kaca-kaca jendela bagi rumah-rumah yang agak berdekatan dengan gelaran tersebut, disamping itu juga akan beresiko bagi masyarakat yang mempunyai riwayat jantungan. Umumnya tradisi yang sudah biasanya ini terjadi atas dasar inisiatif masing-masing pribadi sehingga terakumulasi dalam satu kesatuan terkecil dalam masyarakat. Demikian juga dalam hal dana umumnya mereka saling patungan dan tidak memberatkan satu dua orang, namun tidak jarang adanya partisipasi masyarakat yang berada diperantauan ikut membantu mensuplay dana. Akhirnya tradisi tersebut terus dipelihara secara turun temurun dan berkelanjutan walaupun pada beberapa waktu sempat dilarang sehubungan dengan kondisi keamanan yang sedikit tidak kondusif. Cara Pembuatan Beudee Trieng Siapkan pangkal bambu yang masih segar sekitar + 2 meter, lalu bersihkan tangkainya dari buku-buku bambu. Lubangi buku-buku bambu mulai dari ujungnya dan menyisakan satu buku yang terletak dipangkalnya. Setelah bersih buatlah lubang kecil kecil dibagian agak kepangkal sebagi tempat menyulutkan api sebagai pacingan dentuman suara. Masukkan minyak tanah secukupnya dan sulutkan api melalui tempatnya sehingga menimbulkan suara yang keras.