Loading

Informasi WBTb

Tingkatan Data : Provinsi
Tahun pendataan : 31 December 2025
Tahun verifikasi dan validasi : 31 December 2025
Tahun penetapan : 10 October 2024
Sebaran kabupaten/kota : Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Gayo Lues.
Entitas kebudayaan : WBTB
Domain WBTb UNESCO : Tradisi dan Ekspresi Lisan
Kategori WBTb UNESCO : Tradisi Lisan
Nama objek OPK : -

Identitas Warisan Budaya Takbenda

Wilayah atau level administrasi : Provinsi
Kondisi sekarang : Masih Bertahan

Alamat Warisan Budaya Takbenda

Kabupaten/Kota : Kabupaten Gayo Lues

Deskripsi Warisan Budaya Takbenda

Updaya pelestarian : pencatatan, pemanfaatan, perlindungan, pengusulan
Referensi : https://dapobud.kemenbud.go.id/wbtb/

Penerimaan Formulir Warisan Budaya Takbenda

Tanggal penerimaan formulir : -
Tempat penerimaan formulir : -
Nama petugas penerimaan formulir : -

Nama Lembaya Budaya

Nama lembaga : -

Nama SDM Kebudayaan

Nama lembaga : -

Deskripsi Singkat

WBTb

Nama Lainnya : Bahasa Gayo

Bahasa Gayo merupakan bahasa kebanggaan masyarakat dataran tinggi Gayo yang digunakan sebagai alat komunikasi utama sesama masyarakat etnis Gayo. Etnis ini mendiami wilayah yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, serta sebagian masyarakat di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Gayo menggunakan bahasa ini dalam berbagai situasi, baik dalam lingkungan keluarga, kantor, tempat umum, maupun acara resmi — termasuk ketika berada di luar daerah. Bahasa Gayo juga digunakan dalam khotbah Jumat, pidato, dakwah, dan kegiatan keagamaan lainnya, selama pendengarnya merupakan masyarakat Gayo atau minimal memahami bahasa tersebut. Dalam upacara adat, Bahasa Gayo hampir selalu digunakan sebagai bahasa pengantar utama. Bahasa Gayo dalam Seni dan Tradisi Lisan Etnis Gayo dikenal sebagai masyarakat yang mencintai seni. Banyak kesenian daerah seperti Saman, Didong, Sebuku, dan Guel diiringi oleh syair-syair yang dituturkan dalam Bahasa Gayo. Tradisi lisan juga berkembang pesat di kalangan masyarakat ini, sehingga Bahasa Gayo tumbuh dan bertahan dalam bentuk-bentuk yang indah dan puitis. Hal ini turut memperkuat kelestarian Bahasa Gayo di wilayah asalnya. Asal Usul dan Sejarah Bahasa Gayo Asal-usul etnik Gayo sebagian besar diketahui melalui sejarah lisan yang dikenal sebagai Kekeberen, atau cerita turun-temurun dari keturunan Raja Lingga (Reje Lingge). Menurut Denys Lombard (2008:61), sejarah Gayo lebih banyak disampaikan melalui cerita rakyat yang sulit diverifikasi kebenarannya. Salah satu mitos menyebutkan bahwa leluhur orang Gayo berasal dari seberang laut — sebuah narasi yang digemari oleh masyarakat Gayo. Ibrahim Alfian dalam Kasim (dalam Zainal, 2002:24), mengaitkan asal-usul suku Gayo dengan awal kedatangan Islam di Aceh. Disebutkan bahwa saat Islam menyebar ke wilayah Peureulak, terdapat kelompok masyarakat yang menolak memeluk Islam dan akhirnya menyusuri hulu Sungai Peusangan. Daerah ini kemudian dinamakan Kayo Gayo. Di sana mereka menemukan kerajaan kecil yang terdiri atas sekitar 5.000 keluarga. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:5), suku Gayo berasal dari Melayu Tua, yang datang ke Sumatra pada gelombang migrasi pertama. Mereka menetap di pesisir utara dan timur Aceh, dengan pusat permukiman antara muara sungai Jambu Aye, Peureulak, dan Tamiang, lalu menyebar ke Serbejadi, Lingga, dan Gayo Lues. Sementara itu, Zainuddin dalam Mahmud (2007:5–6) menyatakan bahwa orang Batak, Gayo, dan Alas merupakan bagian dari rumpun bangsa Melayu, yang mungkin memiliki hubungan historis dengan bangsa Phenesia di Babilonia dan Dravida di lembah Sungai Indus dan Gangga. Mereka diyakini serumpun dengan penduduk Semenanjung Malaya, seperti Simang, Jakun, dan Lamun, yang berpindah dari Kedah, Pahang, Perak, dan Kelantan, serta memiliki garis darah dengan bangsa Siam, Champa (Kamboja), dan Burma. Perpindahan ini diduga terjadi akibat ekspansi Kerajaan Iskandar Zulkarnain dari Yunani yang pernah menyerang wilayah Cula atau Gangga Nagara, Siam, dan Perak. Raja Genali dan Pra-Islam di Gayo Setelah menganalisis berbagai versi sejarah, banyak orang Gayo percaya bahwa pemimpin Kerajaan Lingga pertama bernama Genali telah ada sejak masa pra-Islam. Pendapat ini sejalan dengan versi M.J. Melalatoa dan A.R. Hakim Aman Pinan, yang menyatakan bahwa Raja Lingga sudah ada sebelum Islam tiba di wilayah tersebut. Menurut H.A.R. Latief dan Prof. A. Hasjmy, Islam mulai masuk ke daerah Lingga sekitar tahun 416 H (1025 M). Namun, aktivitas sosial dan kepercayaan spiritual masyarakat Gayo menunjukkan keberadaan sistem sosial yang kuat jauh sebelum itu. Salah satunya adalah tradisi membuat tembikar, seperti kendi (keni), labu, buyung, buke, dan periuk — yang menandakan keberadaan peradaban dan kepemimpinan lokal seperti Reje Genali. Dalam hal kepercayaan, masyarakat Gayo menganut animisme, atau kepercayaan terhadap roh-roh halus yang mendiami gunung, rumah, jalan, hingga istana. Oleh karena itu, Kerajaan Lingga sering disebut sebagai kerajaan yang bermazhab animistik, dan keyakinan tersebut bertahan hingga kedatangan Islam pada tahun 375–986 M. Perkembangan Bahasa dan Pemerintahan Gayo Bahasa Gayo diyakini telah digunakan sebelum berdirinya Kerajaan Linge pada tahun 1305 Masehi, yang dipimpin oleh Raja Adi Genali. Raja Linge inilah yang menyusun konstitusi Kerajaan Linge dalam 45 Pasal Edet Negeri Linge. Pemerintahan ini dikenal dengan sistem Sarak Opat, yaitu pembagian kekuasaan antara Reje (raja/eksekutif), Petue (penasihat/yudikatif), Imem (pemuka agama), dan Rayat (rakyat/legislatif).