| Tingkatan Data | : | Provinsi |
| Tahun pendataan | : | 10 October 2024 |
| Tahun verifikasi dan validasi | : | 10 October 2024 |
| Tahun penetapan | : | 10 October 2024 |
| Sebaran kabupaten/kota | : | Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Simeulue, Kota Banda Aceh, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, Kota Sabang, Kota Subulussalam. |
| Entitas kebudayaan | : | WBTB |
| Domain WBTb UNESCO | : | Tradisi dan Ekspresi Lisan |
| Kategori WBTb UNESCO | : | Tradisi Lisan |
| Nama objek OPK | : | - |
| Wilayah atau level administrasi | : | Provinsi |
| Kondisi sekarang | : | Masih Bertahan |
| Kabupaten/Kota | : | - |
| Updaya pelestarian | : | pencatatan, pemanfaatan, perlindungan, pengusulan |
| Referensi | : | - |
| Tanggal penerimaan formulir | : | - |
| Tempat penerimaan formulir | : | - |
| Nama petugas penerimaan formulir | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
WBTb
Nama Lainnya : Bahasa Aceh
NO sertifikat: 2023/Dit.PK/Sertifikat/2024 Bahasa Aceh: Kekayaan Bahasa dan Budaya di Tanah Rencong Bahasa Aceh merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat di Provinsi Aceh, selain bahasa-bahasa etnis lainnya. Diperkirakan sekitar 70% dari total populasi di provinsi ini mampu bertutur dalam Bahasa Aceh. Penuturnya tersebar luas, terutama di sepanjang pesisir Aceh, mulai dari bagian barat hingga timur wilayah tersebut. Beberapa referensi menyebutkan bahwa Bahasa Aceh berasal dari Kerajaan Campa di Vietnam. Namun, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa Bahasa Aceh merupakan hasil percampuran berbagai bahasa seperti Arab dan lainnya. Pendapat-pendapat ini muncul karena terdapat kesamaan kosakata antara Bahasa Aceh dan bahasa dari negeri-negeri tersebut. Meskipun begitu, hingga kini belum ada kesimpulan ilmiah yang pasti mengenai asal usulnya. Yang jelas, Bahasa Aceh telah digunakan selama berabad-abad dan menjadi bahasa resmi pada masa kejayaan Kerajaan Aceh. Sejak lama, Bahasa Aceh telah digunakan dalam dunia sastra dan literasi, baik dengan aksara Arab Jawi maupun aksara Latin. Banyak manuskrip kuno berbahasa Aceh yang ditulis dalam aksara Arab, terutama pada abad ke-17 hingga ke-18. Karya-karya tersebut bahkan terkenal hingga ke kerajaan-kerajaan luar negeri. Contoh karya penting antara lain: Bustanussalatin, Hikayat Aceh, Hikayat Meukuta Alam, dan Afrahu Tabib (kitab pengobatan). Kamus Bahasa Aceh pertama juga pernah diterbitkan dengan terjemahan dalam Bahasa Belanda pada tahun 1931. Kajian Linguistik Bahasa Aceh Kajian terhadap Bahasa Aceh telah dilakukan sejak abad ke-19 dan dapat dikelompokkan ke dalam tiga bidang utama: fonologi dan leksikografi, morfologi dan sintaksis, serta cerita rakyat. Kajian pertama dalam bidang fonologi dan leksikografi dilakukan oleh Langen (1889), yang menerbitkan tata bahasa Aceh pertama. Pada tahun yang sama, ia juga menyusun kamus Bahasa Aceh, meskipun transkripsinya masih bersifat tradisional. Kemudian, Snouck Hurgronje (1892–1906) mengembangkan sistem transkripsi menggunakan alfabet Latin, yang menjadi acuan bagi penyusunan kamus oleh Kreemer (1931) dan Djajadiningrat (1934). Pada tahun 1981, Cowan menyusun kerangka fonem Bahasa Aceh berdasarkan ortografi Snouck Hurgronje. Namun, seiring perkembangan zaman, ejaan Bahasa Aceh mulai beralih dari metode tersebut. Sejak tahun 1979, telah ditetapkan ejaan standar Bahasa Aceh melalui "Seminar Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Aceh" yang diselenggarakan di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Kajian Morfologi dan Sintaksis Kajian terhadap morfologi dan sintaksis Bahasa Aceh juga cukup banyak. Pada tahun 1966, Anzib menulis Tata Bahasa Aceh sebagai bahan untuk seminar Bahasa Aceh di Universitas Syiah Kuala. Ishak (penutur dialek Aceh Barat) pada tahun 1968 menulis buku pelajaran Bahasa Aceh. Kajian yang lebih serius terhadap bidang ini dimulai sejak tahun 1970-an. Beberapa karya penting antara lain: Sulaiman (1978, 1979): Buku pelajaran berdasarkan dialek Aceh Utara. Asyik (1972–1987): Meneliti morfologi, fonologi, sistem persesuaian, dan tata bahasa kontekstual Bahasa Aceh. Cowan (1981): Morfologi derivasional Bahasa Aceh. Durie (1982–1986): Sistem S-pisahan, struktur dialek Aceh Utara, bentuk pasif, dan relasi gramatikal. Lawler (1975, 1977): Relasi gramatikal pada dialek Aceh Besar. Dik (1981) dan Perlmutter (1981, 1984): Kajian linguistik lanjutan. Djunaidi (1992, 1996): Proses morfosintaksis dan relasi gramatikal. Data Penutur Bahasa Aceh Berdasarkan sensus tahun 2000, terdapat 3,5 juta penutur Bahasa Aceh di Provinsi Aceh. Bahasa ini menjadi salah satu bahasa daerah dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia, berada di peringkat ke-6 menurut data Student Activity Binus. Namun, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Long Form Sensus Penduduk 2020, penggunaan Bahasa Aceh mulai mengalami penurunan di kalangan generasi post Gen Z (lahir tahun 2013 ke atas). Penurunan persentase penutur berdasarkan generasi adalah sebagai berikut: Pre-Boomer (77 tahun ke atas): 89,93% Baby Boomer (58–76 tahun): 85,72% Generasi X (42–57 tahun): 82,27% Millennial (21–41 tahun): 79,76% Generasi Z (10–25 tahun): 74,77% Post Gen Z (di bawah 10 tahun): 64,36% Walau demikian, Bahasa Aceh masih digunakan secara aktif dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks formal maupun informal. Bahasa ini dipakai dalam pidato, ceramah agama, pasar, bahkan perkantoran. Contoh Kalimat Bahasa Aceh Berikut beberapa contoh kalimat dalam Bahasa Aceh beserta terjemahannya: Golom jipajoh bu aneuk nyan → Anak itu belum makan nasi. Ureung nyan geutulong si Din → Orang itu ditolong oleh si Din. Kayee nyoe geukoh lee ureung nyan → Kayu ini dipotong oleh orang itu. Jeut neutulong cok siat ija nyan keu lon? → Bolehkah Anda bantu ambilkan kain itu untuk saya? Dialek Bahasa Aceh Bahasa Aceh memiliki 8 dialek utama yang dipengaruhi oleh kondisi geografis dan bahasa-bahasa di sekitarnya, yaitu: Dialek Aceh Rayeuk – Banda Aceh dan Aceh Besar Dialek Pidie – Pidie dan Pidie Jaya Dialek Peusangan – Bireuen, Lhokseumawe, dan Aceh Utara Dialek Pasee – Sebagian Aceh Timur dan Aceh Utara Dialek Aceh Timur – Aceh Timur, Langsa hingga Aceh Tamiang Dialek Meulaboh – Aceh Barat dan Aceh Jaya Dialek Seunagan – Nagan Raya dan sekitarnya Dialek Daya – Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, sebagian Aceh Singkil, dan Subulussalam Struktur Bahasa dan Ciri Khas Struktur kalimat dalam Bahasa Aceh serupa dengan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia, yaitu terdiri dari Subjek–Predikat–Objek. Contoh Kalimat Dasar: Ayah ceumangkoe → Ayah sedang mencangkul Aneuk miet teungoh manoe → Anak kecil sedang mandi Contoh Kalimat Verbal: Cok anoe lam krueng kon buet mangat → Mengambil tanah di sungai bukan pekerjaan mudah Meuseudeukah jiyue le agama → Bersedekah diperintahkan oleh agama Perbedaan antar dialek biasanya terlihat dari kosakata dan irama tutur, tetapi yang paling mencolok adalah pada penggunaan afiks (imbuhan). Misalnya, afiks seperti ji-, -teuh, -neuh, dan geu- umum digunakan di Kutaraja dan pesisir timur, tetapi tidak dikenal di pesisir barat. Selain itu, kata jih (dia) dianggap kasar di pesisir timur, namun lumrah di pesisir barat. Penutup Dari sudut pandang linguistik, Bahasa Aceh memiliki keunikan dalam aspek fonologi, leksikon, struktur, dialek, dan sastra. Bentuk-bentuk tata bahasa kontekstual yang khas menunjukkan bahwa Bahasa Aceh merupakan kekayaan budaya yang perlu dilestarikan dan dikembangkan, agar tetap hidup dan berfungsi dalam kehidupan masyarakat di tanah rencong, Serambi Mekkah.