| Tingkatan Data | : | Provinsi |
| Tahun pendataan | : | 01 January 2022 |
| Tahun verifikasi dan validasi | : | 01 January 2022 |
| Tahun penetapan | : | 01 January 2022 |
| Sebaran kabupaten/kota | : | Kabupaten Aceh Singkil. |
| Entitas kebudayaan | : | WBTB |
| Domain WBTb UNESCO | : | Seni Pertunjukan |
| Kategori WBTb UNESCO | : | Seni Tradisional |
| Nama objek OPK | : | Ambe-Ambeken |
| Wilayah atau level administrasi | : | Provinsi |
| Kondisi sekarang | : | Masih Bertahan |
| Kabupaten/Kota | : | Kabupaten Aceh Singkil |
| Updaya pelestarian | : | Dokumentasi, Pendidikan, Pengajaran, Penggunaan Teknologi |
| Referensi | : | - |
| Tanggal penerimaan formulir | : | - |
| Tempat penerimaan formulir | : | - |
| Nama petugas penerimaan formulir | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
| Nama lembaga | : | - |
WBTb
Nama Lainnya : Ambe-Ambeken
Dalam sejarahnya, Tari Ambe-Ambeken diciptakan oleh seorang bangsawan Singkil bernama Sultan Daulat bergelar Tengku Gemerinting. Sultan Daulat adalah Raja di Kerajaan Batubatu pada sekitar tahun 1896. Ia termasuk salah seorang raja di kawasan pesisir barat Aceh yang cukup menyulitkan Belanda. Selain itu, ia juga sangat mencintai seni. Tari Ambe-Ambeken diciptakan oleh Sultan Daulat karena ia melihat kondisi kehidupan masyarakat di pinggir sungai yang jauh dari keramaian, sehingga timbul idenya untuk membuat hiburan masyarakat dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keislaman. Sang Tengku Gemerinting menciptakan gerak tari berdasarkan apa yang ia lihat dari lingkungan sekitarnya, tujuannya agar gerakannya lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Tarian pertama yang ia ciptakan adalah Tari Alas, yang gerakannya diadaptasi dari gerakan beladiri silat asal Singkil. Setelah Tari Alas, Tengku Gemerinting menciptakan Tari Ambe-Ambeken yang diadaptasi dari gerakan mendayung bungki (sampan) yang memang merupakan aktivitas masyarakat Suku Singkil Hulu sejak mereka remaja.Tidak ditemukan adanya perbedaan versi sejarah dalam tarian ambe-ambeken, seolah ada kesepahaman dalam masyarakat yang menyatakan bahwa tarian tradisional Suku Singkil umumnya, dan Tari Ambe-Ambeken khususnya memang diciptakan oleh seorang Tengku Gemerinting. Perbedaan hanya terletak pada penyebutan nama tarian antara satu desa dengan desa lainnya, yang muncul karena faktor sosiokultural yang terjadi setelahnya. Pada awalnya, Tari Ambe-Ambeken ini hanya boleh ditarikan oleh kaum laki-laki. Hal ini dikarenakan adanya aturan adat yang ketat untuk melarang perempuan tampil di depan publik, terutama dalam kapasitasnya sebagai pekerja seni dan penghibur. Ada dua hal yang mendasari hal ini, antara lain; 1. Agama Islam mengajarkan bahwa segala keindahan yang dimiliki oleh perempuan bukan untuk dinikmati oleh khalayak, dan pelanggaran terhadap hal ini dapat menjadi aib bagi keluarga. Agama Islam memang sudah sejak lama menjadi referensi kultural dalam hukum adat di Singkil, dan memang tanah Singkil sendiri dikenal sebagai tempat lahirnya ulama besar Syeikh Abdul Rauf atau yang juga dikenal sebagai Syah Kuala. 2. Situasi sosial yang terjadi di masa lalu tidak seperti sekarang, sehingga sangat penting bagi semua orang untuk melindungi perempuan dalam keluarganya dengan membuat mereka tidak menampakkan diri di ruang publik. Tujuannya agar mereka tidak kehilangan anak perempuan dengan cara yang tidak mereka kehendaki, atau melihat anak perempuan mereka terpaksa menikah dan hidup bersama dengan orang yang tidak dicintainya. Sama seperti karakter tarian Aceh lain, Tari Ambe-Ambeken bersifat maskulin. Dalam artian, meskipun kesenian ini menonjolkan gerak tubuh, tetapi gerakannya tidak lemah gemulai melainkan terlihat kaku dan penuh tenaga. Ketika ditarikan secara berpasangan, ia memperlihatkan gestur dua orang yang sedang berkontestasi dan diakhiri dengan jalinan persahabatan. Jika ditarik dari latar belakang sejarah, memang pada umumnya tarian di Aceh lebih dimaksudkan sebagai tarian perang (tribal war dance) dibanding sarana hiburan (Hermaliza, 2014: 11).