Loading

Informasi OPK

Tingkatan Data : Kabupaten
Tahun pendataan : 16 October 2025
Tahun verifikasi dan validasi : 16 October 2025
Entitas kebudayaan : OPK
Kategori : Pengetahuan Tradisional

Detail OPK

Etnis yang Melaksanakan : Aceh
Jenis Makanan/Minuman : -
Bahan Baku : -
Cara dan Waktu Penyajian : -
Cara Pembuatan : -
Cara dan Waktu Penyajian : -

Alamat OPK

Kabupaten/Kota : -
Kecamatan : -
Desa/Gampong : -
Alamat Sentra Pembuatan/Produksi : -

Deskripsi Singkat

WBTb

Nama Lainnya : MADEUNG

Sejak dahulu kepulauan nusantara dikenal sebagai kawasan utama penghasil tenun terbaik di dunia dengan keanekaragaman warna, corak, motif dan makna filisofinya. Joseph Fisher, seorang pengamat tekstil dunia, dalam bukunya Threads of Tradition : Textiles of Indonesia and Serawak, menyatakan bahwa seni tenun yang paling kaya dan canggih yang pernah ada di dunia dihasilkan di Indonesia. Tak kalah dengan berbagai daerah lainnya di Indonesia, Aceh juga memiliki kerajinan tenun songket tradisional khas. Kerajinan menenun di Aceh telah hidup dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak berabda-abad yang lalu. Keahlian menenun tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan hidup manusia terutama dalam pemenuhan kebutuhan sandang. Kebutuhan akan sandang ini dalam perkembangannya bukannya sekedar untuk menutupi tubuh, tetapi kemudian juga dibutuhkan sebagai bagian dari gaya hidup. Seringkali pakaian menjadi indikator sosial dari para penggunanya. Sebuah hadih maja atau pepatah Aceh menyebutkan, geutakôt keu angkatan, geumalè keu peukayan, maksudnya ditakuti karena angkatan perangnya, disegani karena pakaiannya. Pekerjaan atau ketrampilan menenun dalam bahasa Aceh disebut dengan Pök Teupeuen. Kata Pök Teupeuen mengandung makna mengantuk papan alat pemintal, bertenun, pök ija, menenun, memintal kain, (Aboe Bakar,dkk, 2008, hal. 734). Pök Teupeuen atau disebut juga Tak teupeuen, berarti kegiatan menenun. Seiring dengan perguliran waktu memiliki ketrampilan termasuk ketrampilan menenun menjadi tuntutan penting bagi rakyat Aceh dalam menjalani kehidupannya. Pepatah Aceh yang lain menegaskan, meunyoe jeut buet jaroe, u cong duroe seulamat, tapi meunyoe hanjeut buet jaroe, atra lam peutoe kiamat. Dahulu dalam pandangan masyarakat Aceh gadis-gadis yang tidak mahir menenun sangat dicela dalam masyarakat dan dianggap sebagai perempuan yang tidak cakap dalam kehidupan. Hal ini tercermin dalam Hadih Maja (Peribahasa Aceh), tayue peu-ék ie beukah tayeuen, tayue pök teupeun keundô asöe, yang maksudnya kira-kira, disuruh mengangkat air pecah tempayan, disuruh menenun kendur kainnya. Serpihan catatan penting dan tertua yang mengabarkan tentang keberadaan tenunan sutera di Aceh terdapat dalam kitab Sung dari Dinasti Sung (960 -1279) pada penggalan abad ke X dan XI. Kitab Sung mencatat perihal keberadaan dan produksi kain sutera di Aceh terutama di kawasan Pidie dan Aceh Besar, hingga pada penggalan abad ke-19 keberadaan tenun sutera Aceh menyebar ke berbagai wilayah di Aceh. Sutera Aceh dengan bahan sutera yang bermutu tinggi dan dipadu dengan keragaman motif yang indah dipandang sebagai sebuah maha karya sehingga dihargai dengan nilai lebih mahal dibanding dengan kain sutera serupa yang diimpor dari India. Di Kecamatan Darussalam dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar Terkait bagaimana produksi sutera di Aceh pada penggalan abad XIV, diceritakan oleh Denys Lombard, seorang sejarawan Perancis dalam bukunya, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda (1607-1636), “sutera tetap dihasilkan dengan hasil yang lumayan banyak di daerah sekitar Aceh. Para petani menghasilkan sutera dalam jumlah yang cukup besar, yang diolah di Aceh menjadi berbagai barang yang sangat digemari di seluruh pulau Sumatra”. Memproduksi kain tenun (teupeun) memang telah menjadi kebijakan Sulthan di Kesultnan Aceh Darussalam. Berdasarkan sebuah manuskrip Pohon Aceh Darussalam yang berisi 21 Kewajiban Rakyat Aceh Darussalam yang disusun pada masa Paduka Seri Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah Johan Berdaulat (1514 -1530), Sultan Aceh Darussalam memerintahkan kepada Rakyat Aceh untuk memproduksi kain tenun sutra (teupeun) khususnya kepada kaum perempuan. Pada pasal ke-5 yang berbunyi, “diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yang perempuan yaitu mengajar dan belajar membikin teupeun (tenun), bikin kain sutera dan kain benang dan menjahit dan menyulam dan melukis bungabunga pada kain pakaian dan barang sebagainya.” Tenun sutera Aceh mengalami masa kemunduran bahkan kemudian hilang sama sekali pada era perang Aceh, yakni perang antara Kesultanan Aceh Darussalam melawan Belanda. Perang Aceh dianggap sebagai perang terberat dan terlama dalam sejarah penjajahan Belanda. Denys Lombard menyebutkan bahwa pada zaman Snouck Hourgronje dapat dikatakan tenun sutera Aceh telah hilang. Tenun sutera Aceh perlahan mulai bangkit kembali pada tahun 1973, melalui tangan seorang perempuan gampong Siem, yang bernama Hajjah Maryamu Ali atau yang lebih dikenal dengan Nyakmu. Berbekal ketrampilan yang diwariskan dari orangtuanya dengan pendampingan oleh Dinas Perindustrian Aceh saat itu, Nyakmu mulai memperkenalkan kembali tenun sutera Aceh kepada dunia. Dengan tekun Nyakmu kembali mempertajam skill menenun dan kemudian mengajarkan ilmunya kepada perempuan-perempuan termasuk generasi muda yang ada gampong Siem kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar. Lebih jauh, tanpa kenal lelah, Nyakmu terus mengembangkan ilmu menenun songket Aceh ini ke beberapa wilayah gampong dalam Kabupaten Aceh Besar seperti Miruek Taman, dan juga beberapa wilayah Aceh lainnya yakni, Lamgugob Banda Aceh, Lamno Aceh Jaya, dan Aceh Timur. Hari ini, dapat dipastikan semua penenun yang memiliki ketrampilan menenun di Aceh sanad keilmuannya tersambung kepada Nyakmu. Paska bangkit kembali pada era tahun 70-an, tenun songket Aceh terus berkembang seiring perjalanan waktu. Tenun songket Aceh sempat mengalami masa kejayaan pada saat Prof. Dr. Ibrahim Hasan menjabat gubernur Aceh pada bilangan tahun 1986-1993. Saat ini sebaran sentra produksi tenun songket Aceh berada di gampong Siem, gampong Miruek Taman dan gampong Krueng Kalee. Ketiga lokasi produksi tenun songket Aceh ini berada di Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar. Teupeun adalah alat tenun tradisioanal yang terdiri dari rangkaian seperangkat alat yang memiliki fungsi masing-masing dalam tradisi menenun masyarakat Aceh . Bagian-bagian dari seperangkat alat tenun tradisonal Aceh adalah sebagai berikut: - Pha Cakah, adalah tiang teupeun yang biasanya terbuat dari batang bambu, yang berguna sebagai tempat menjepit gulungan benang tenun (Lhoh); - Lhôh (batang kumpar) adalah kayu balok tipis sepanjang bidang kain yang berfungsi sebagai tempat melilit masing-masing benang lungsi, agar dapat dikaitkan atau dijepit pada pha cakah; - Aneuk Idông adalah sepasang kayu kecil bulat sepanjang bidang kain yang digunakan untuk mengikat benang lungsi yang diikat atau dijepit pada batang kumpar (lhôh); - Peusha adalah balok gelondongan yang berfungsi sebagai tempat menggulung kain hasil tenunan. - Aneuk Klip sepotong kayu kecil dan ringan seukuran jari kelingking yang panjangnya seukuran lebar kain tenun yang berguna untuk mengikat atau menjepit benang lungsi pada balok peusha; - Peunök adalah sebilah kayu memanjang dengan salah satu sisnya dibuat lonjong/tumpul dan ujungnya lancip yang berguna untuk memukul benang/kasap supaya kain tenunnya memadat. Peunök juga berfungsi untuk membuat celah antara benang lungsi supaya dapat memasukkan benang atau menyelipkan benang emas (kasap. Peunök terdiri dari dua jenis yakni Peunök Rayek dan Peunök Ubiet; - Surie adalah irisan bambu yang disusun memanjang seperti sisir yang berfungsi untuk menyerak benang. - Garap adalah irisan benang nilon yang disusun memanjang yang berfungsi untuk menyerak benang lungsi sebelum dimasukkan ke dalam surir; - Tureuk adalah potongan ujung buluh bambu sepanjang lebih kurang 30 cm yang bagian ujungya dibuat melonjong dan berlubang pada sisinya hingga dapat dilalui benang pakan sutra dan benang pakan emas; - Nurieng adalah bilahan bambu kecil yang berfungsi untk menggulung benang pakan sutra dan benang pakan emas/perak agar dapat dimasukkan dalam tureuk; - Cakoe Bungong adalah perangkat penanda motif pada kain tenun berupa kumparan benang nilon dan rautan batang bambu memanjang sebesar kelingking (aneuk cakoe); - Alat Seumiweut, adalah seperangkat alat berupa balok tipis horizontal sepanjang lebih kurang enam meter yang dimasukkan ke dalam lubang pahatan dua tiang vertikal yang berfungsi untuk menghani benang tenun guna memperoleh benang lungsi; - Jangka, adalah alat yang terbuat dari rautan belahan bambu tipis sepanjang lebih kurang 40 cm yang memiliki lubang-lubang kecil untuk memasukkan benang tenun dan berfungsi untuk mengulur benang sutra dalam proses seumiweut (menghani); Rasôk, adalah alat yang terbuat dari rautan belahan bambu tipis sepanjang lebih kurang 20 cm dengan salah satu ujungnya dikerat yang berfungsi untuk memasukkan benang lungsi ke dalam surie (sisir benang);